Selasa, 25 Desember 2012

POTENSI dan KENDALA EKONOMI KERAKYATAN di TENGAH MITOS EKONOMI INDUSTRIAL dan KAPITALIS



POTENSI dan KENDALA PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN di TENGAH MITOS EKONOMI INDUSTRIAL dan KAPITALIS



A. Definisi Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Industrial-Kapitalisme


Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahankan kehidupannya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sistem antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri.

 Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguh pada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring yang menghubung – hubungkan sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya  jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.

Dari UUD 1945 dan pancasila, dapat kita ambil kesimpulan bahwa, misi ekonomi kerakyatan yang pokok adalah penyediaan lapangan kerja, serta mewujudkan taraf hidup yang layak bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, perekonomian rakyat mengupayakan aspek perekonomian bangsa yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Dari definisi ekonomi kerakyatan diatas kami mengambil kesimpulan bahwa ekonomi karakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi yang dimana Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri.

            Istilah ekonomi industrialis dan kapitalisme sebenarnya berasal dari ekonomi kapitalis dalam lingkup industri. Dalam sistem ekonomi kapitalis pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan usaha, kecuali dalam kegiatan tertentu. Pengusaha mempunyai kebebasan penuh untuk berproduksi atau melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan kehendaknya masing-masing dan digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.
           
            Jadi dengan memasuki era perdagangan dan investasi bebas, semua aspek kehidupan haruslah ditingkatkan, baik yang berupa pengembangan pribadi melalui peningkatan kesehatan, pendidikan formal atau informal, maupun pengembangan organisasi / badan usaha.
Pengembangan disegala bidang ini dilakukan untuk meningkatkan output dengan kualitas terbaik yang dapat dilakukan dengan pengembangan SDM, sistem pemasaran, maupun pengembangan dana. Maka pengembangan ekonomi kerakyatan perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta sebagai para mitra usahawan kecil.

            Dari ciri – ciri di atas dapat diambil definisi bahwa ekonomi industrial dan kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu yang melakukan kegiatan ekonomi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. 
  
B. Ekonomi Kerakyatan di Indonesia

Sistem ekonomi kerakyatan berlaku di Indonesia sejak terjadinya Reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pemerintah bertekad melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan. Pada sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Sistem ekonomi kerakyatan mempunyai ciri-ciri berikut ini:
a.       Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b.      Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c.       Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d.      Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.

C. Potensi dan Kendala Pengembangan Ekonomi Kerakyatan di Tengah Mitos Ekonomi Industrial dan Kapitalisme
            Dalam membahas potensi dan kendala pengembangan ekonomi kerakyatan ditengah mitos ekonomi industerialis dan kapitalis kami mengambil dua hal yang mengngambarkan bagaimana ekonomi kerakyatan di Indonesia, yaitu koperasi dan usaha-usaha kecil. Dikatakan demikian karena dua hal inilah yang saat erat kaitannya dengan penerapan ekonomi kerakyatan, yang dimana kedua hal ini menjadi motor penggerak perekonomian yang betul-betul sangat dekat, degan masyarakat.

Koperasi adalah salah satu bentuk konkret dalam penerapan ekonomi kerakyatan, koperasi sangat berpotensi untuk berkembang sebagai bangun perusahaan yang dapat digunakan sebagai salah satu wadah utama untuk membina kemampuan usaha golongan ekonomi lemah serta membantu dan mempermudah masyarakat dalam memperoleh pinjaman. Hal ini menunjukan bahwa koperasi memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa pada saat ini pengembangan koperasi telah banyak membuahkan hasil. Tetapi, bila dibandingkan dengan pelaku ekonomi lainnya, koperasi masih jauh tertinggal. Ketinggalan ini disebabkan oleh kendala-kendala yang berasal dari faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menghambat pengembangan koperasi meliputi faktor peofesionalitas, pengelolaan kelembagaan, kualitas sumber daya manusia dan permodalan. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor iklim politik ekonomi nasional yang kurang kondusif dan persaingan dengan badan usaha lainnya.

Selain koperasi, usaha kecil juga merupakan bentuk dari ekonomi kerakyatan. Usaha kecil memiliki beberapa potensi diantaranya penyerapan tanaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan usaha besar lainnya, mempromosikan potensi sandang dan pangan nusantara, serta saat ini usaha kecil terus membantu pemerintah dalam memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya sektor industri kecil dan menengah di Indonesia. Di Indonesia jumlah usaha kecil sudah banyak bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya permintaan kredit untuk usaha kecil baru.

            Namun, pada kenyataannya usaha kecil belum mampu mengangkat perekonomian Indonesia yang mengalami kerapuhan. Usaha kecil juga memiliki kendala yang sama dengan kendala yang dihadapi oleh koperasi. Kendala usaha kecil umumnya terletak pada kualitas dan kuantitas sumber daya mausia, menghadapi persaingan yang ketat pada permodalan yang kecil sehingga tidak mampu untuk menyisahkan marjin keuntungan untuk membayar asuransi atau cadangan guna menghadapi situasi tak terduga. Praktis,semua resiko harus dihadapi sendiri. Selain itu usaha kecil kurang mendapat prioritas salam membangun ekonoomi, yang dilakukan pemerimntah. Justru yang mendapat prioritas pembagunan adalah industri modern, seperti industri besar dan menengah, sektor jasa keuangan, seperti perbankan. Pedagang eceran dengan skala besar dan lainnya. Pemerintah beralasan dengan meningkatkan pertumbuhan usaha pada sektor modern ini akan menyebarkan manfaat   ekonomi berupa kebutuhan input atau pasokan output pada sektor lainnya terutama yang memiliki potensi pertumbuhan rendah. Kebutuhan faktor input itu dapat berupa penyerapan tenaga kerja, bahan mentah yang daharapkan dapat dipasok dari sektor tradisional.

 Namun, kenyataannya setelah beberapa fasilitas perijinan dan fasilitas-fasilitas kredit diperoleh usaha-usaha besar, tidak ada manfaat ekonomi yang dirasakan. Tingkat pengangguran angkatan kerja di pedesaan dan di perkotaan yang semakin besar menunjukan bahwa sektor modern tidak mampu menciptakan nilai tambah melalui penciptaan tenaga kerja. Hal ini membuktikan bahwa industri-industri tersebut tidak berbasis ekonomi kerakyatan, namun lebih ke industrialis yang lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat.

Pertumbuhan tersebut dicapai dengan menggunakan banyak faktor input yang diimpor , sehingga. Pemanfaatan output sektor tradisional tidak banyak terserap. Tingkat upah di sektor modern terutama di wilayah perkotaan sangat rendah, sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan ditandai oleh dualisme status sosial ekonomi masyarakat yang cukup mencolok. Di satu pihak dijumpai kelompok minoritas dengan status sosial ekonomi yang tinggi seperti di negara maju, sementara di lain pihak terdapat kelompok mayoritas dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan.

Kebebasan berusaha yang didukung oleh fasilitas perijinan, modal, dan manajemen modern, menyebabkan banyak produk – produk industri besar dan menengah mendesak keberadaan produk yang dihasilkan oleh industri kecil dan kerajinan rakyat, begitu banyak kendala yang dihadapi oleh usaha-usaha kecil, pemerintah perlu membentuk suatu solusi untuk hal ini sehingga terbentuk pemerataan kesejahteraan sektor usaha kecil, menengah dan industri besar dan kelompok minoritas dan mayoritas tersebut dapat terhapus.

Sabtu, 15 Desember 2012

PENDIDIKAN EKONOMI

Minggu, 16 Desember 2012
BEBERAPA  ASPEK  EKONOMI  PENDIDIKAN 
Oleh Nur Sulistiani
Mahasiswi Universitas Jambi Pendidikan Ekonomi   
A. Nilai Ekonomi dari Pendidikan 
Biaya dalam pendidikan dapat dipandang sebagai investasi dalam sumber daya manusia (Human Investment dan Human Capital). Hal ini karena, pembiayaan pendidikan yang di investasikan untuk peningkatan kualitas dan produktivitas manusia jangka panjang. Negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan beberapa negara di Asia (Jepang, Korea Selatan, China, dan Singapura) memiliki sistem perencanaan pembiayaan pendidikan yang matang, komprehensif, serta dijalankan secara konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Hal yang sebaliknya, investasi dalam peningkatan mutu pendidikan menghadapi berbagai permasalahan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, baik yang menyangkut kebijakan, kemampuan manajemen, dan faktor lainnya. Pendidikan dapat dipandang sebagai investasi pada sumber daya atau investment in Human Capital, dan oleh karena itu dapat dianalisis menggunakan model analisis biaya manfaat (benefit cost analysis). Model analisi ini, menurut Nanang Fattah (Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, 2006:25) merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi. Analisis jenis ini didasarkan pada asumsi bahwa:
a) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya, dan
b) perbedaan pendapat di masyarakat disebabkan oleh perbedaan dalam pendidikan dan bukan perbedaan kemampuan atau latar belakang sosial. 
Pendekatan analisis ini disebut juga dengan pendekatan analisis rate of education (pengukuran pendidikan; yang mula-mula di uji cobakan di Rusia) yang bertujuan untuk mengukur pendidikan dari sudut hasil atau keuntungan yang diperoleh. Pendidikan melibatkan dan memerlukan pembiayaan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk mempersiapkan sumber daya yang yang berkualitas dan skillfull.
Dengan demikian, pendidikan dapat diposisikan sebagai usaha investasi pada sumber daya manusia. Sebagaimana investasi pada bidang lainnya, investasi pada bidang pendidikan harus dapat memberikan keuntungan yang dapat diukur dengan nilai moneter atau hasil konversinya, terlebih jika pendidikan itu harus memiliki dampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi, dan mobilitas sosial. Sekalipun para ahli ekonomi mengalami kesukaran dalam upaya mengukur kontribusi pendidikan pada pertumbuhan ekonomi makro, namun mereka sepakat bahwa pendidikan, tidak diragukan lagi, memiliki nilai ekonomi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi tersebut.
Kesukaran pengukurannya disebabkan adanya ciri dan karakter pendidikan yang kompleks. Hanya saja, keterkaitan antara pendidikan dengan ekonomi, umumnya, baru dapat diukur pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti tenaga kerja,pengetahuan, dan teknologi. Misalnya, keterkaitan jenis pendidikan dengan ketenagakerjaan adalah bahwa income seseorang ternyata banyak dipengaruhi oleh jenis pendidikan dan tingkat pendidikan yang diperolehnya. Secara umum, income lulusan SD lebih rendah bila dibandingkan dengan income lulusan SMA, dandemikian pula lulusan SMA berincome lebih rendah bila dibandingkan dengan income lulusan perguruan tinggi. Faktor-faktor ini hanya dapat diwujudkan dengan masuknya human  factor 
, sebab pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan pembangunan manusia hanya dapat mungkin dilakukan oleh pendidikan, bukan oleh ekonomi. 
Dengan demikian, model analisis biaya manfaat pendidikan diorientasikanuntuk mengukur hasil atau produk pendidikan (manusia, produksi, atau jasa keuntungan) dengan pemenuhan tenaga kerja (pasar), penambahan pendapatan, pertumbuhan ekonomi makro dan mikro, mobilitas sosial, serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengukuran model analisis biaya manfaat pendidikan inimemiliki keunggulan, yakni:
a) perencanaan pendidikan diorientasikan untu peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan pendapatan, dan kebutuhan pasar (market demand),
b) pendidikan mempunyai ukuran yang konkret yakni penyerapan pasar tenaga kerja terhadap produk pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat,serta pertumbuhan ekonomi,dan 
c) pendidikan pun mempunyai ukuran semi-konkret, yakni peningkatan taraf hidup dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya saja model analisis ini masih mempunyai beberapa kendala. 
Pertama,jika analisis diprioritaskan, seringkali pengukurannya bersifat kuantitatif moneterial (pendapatan dalam bentuk uang atau material). Dengan pendekatan ini, maka suatu jenis pendidikan tertentu sajalah yang harus dikembangkan, yakni pendidikan yangmampu menghasilkan lulusan yang jika sudah bekerja menghasilkan return (produksi, materi, pendapatan, atau jasa keuntungan) jauh lebih besar dari input biaya yang digunakan atau diinvestasikan.Sebaliknya,jika pendidikan itu tidak menguntungkan, maka seringkali dipertimbangkan untuk tidak dikembangkan. 
Kedua, sangat (atau cukup) sulit menghitung benefit yang dihasilkan oleh seseorang di lapangan kerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. 
Ketiga, model ini hanya menekankan hubungan pendidikan dengan penghasilan serta mengabaikan hubungan antara penghasilan seseorang dengan kemampuan motivasi, kelas sosial, dan sebagainya. 
Keempat, perbedaan pendapatan yang menguntungkan orang-orang itu sendiri bukanlah menunjukkan kemampuan produktivitasnya, tetapi lebih merupakan suatu konvensi soial. 
Kelima, keuntungan dari pendidikan tidak hanya berupa keuntungan financial, tetapi dapat berupa keuntungan sosial, seperti pemeliharaan anak yang baik (yang terhindar dari kenakalan dan kejahatan) peningkatan kesehatan, dan penurunan tingkat kriminalitas (termasuk KDRT).


B. Nilai ekonomi pendidikan akan terukur secara akseleratif sehingga pendidikan sebagai human capital akan memiliki return on investment yang cukup lama
1. Mengukur internal rates of return 
Melalui cost benefit analysis terbukti bahwa pendidikan mempunyai korelasi positif dengan peningkatan taraf hidup dan pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, para pengambil kebijakan pendidikan dan para ekonom telah mengisi kerangka kerjadari paradigma pengembangan modal manusia (human capital), dengan analisis pengembalian pendidikan dan pelatihan, serta penjelasan tentang perilaku individual dalam pasar tenaga kerja dan dalam perusahaan-perusahaan, juga dengan mengkajikontribusi modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi, dan penelitian tentang pengaruh kualitas pendidikan terhadap pengembalian (rate of returns) pendidikan. Terdapat berbagai macam faktor untuk mengukur bagaimana internal rates of return diukur dengan baik pada tingkat makro (negara). Di antara ukuran-ukuran tersebut, di antaranya:
1). Pendapatan per-kapita,
2). Perubahan peta ketenagakerjaan,misalnya dari pertanian ke industri,
3). Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi seperti mobil, telepon, televisi.
Dengan demikian kriteria untuk menilai keberhasilan internal rates of  return: 1). Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP dan GNP, 2). Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, 3). Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas. Secara mikro (personal dan keluarga), internal rate of return dapat diukur dari beberapa indikator, yaitu: 
a) Pendapatan yang dihasilkan dari penghargaan terhadap jenjang dan jenis pendidikan. Misalnya pendapatan Guru besar lebih dibanding dengan dosen atau guru; demikian pula, dengan sertifikasi, dosen dan guru yang telah tersertifikasi, memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari dosen danguru yang belum tersertifikasi. Salah satunya dibedakan dari jenjang pendidikan, misalnya untuk dosen minimal S2 dan bagi guru minimal S1. 
Di Amerika Serikat, pada tahun 1992, misalnya seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusanuniversitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah,dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
b) Pendapatan yang dihasilkan dari jenjang profesionalisme; misalnya insinyur mendapatkan income yang lebih tinggi dibanding non-insinyur; demikian pula, dokter mendapatkan penghagaan yang lebih dibandingtenaga kesehatan lainnya;
c)Tingkat konsumtif. Personal atau keluarga yang berpendidikan tinggi memiliki konsumsi yang lebih tinggi dibanding personal dan keluarga yang berpendidikan lebih rendah. 
d)Tingkat investasi. Personal atau keluarga yang berpendidikan tinggi memiliki dana investasi (termasuk tabungan) yang lebih banyak dibanding  personal dan keluarga yang berpendidikan lebih rendah.
e) Penghasilan seumur hidup.
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
a) cross sectional, yakni dengan cara mengukur penghasilan dalam waktu bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi umumnya, kemudian dicari rata-rata penghasilan dari orang yang usianya sama,dan
b)longitudinal, yakni dengan mengikuti sejumlah orang yang seusia dan penghasilannya diukur pada setiap tingkat usianya (Wardiman dan Ace S,1995).
2. Nilai Ekonomi Pendidikan Objektif dan Subjektif berkaitan dengan Nilai Gunadan Nilai Tukar 
Perkataan “nilai ekonomi” dapat ditafsirkan sebagai makna” atau “arti”(worth) dari sesuatu pendidikan atau benda. Hal ini mempunyai pengertian bahwa pendidikan, sebagaimana benda lainnya, akan mempunyai nilai bagi seseorang jika pendidikan benda tersebut memberi makna atau arti bagi seseorang ataumasyarakat secara ekonomi. Sebagai ilustrasi, nilai pendidikan, sebagaimana suatu properti, dapat pula ditafsirkan sebagai suatu harga yang dibayar oleh pembeli yang mampu, bersedia dan berkelayakan membeli dari penjual yang bersedia, berkelayakan dan mempunyai hak untuk menjualnya. Jadi dalam hal ini di antara penjual dan pembeli harus mengetahui keadaan pasaran yang sebenarnya atau kedua belah pihak telah mendapat nasehat dari pihak profesional yang telahahli dalam pasaran benda atau pendidikan tersebut. Nilai pendidikan, sebagaimana barang/benda lainnya, tidak semestinya selalu dinyatakan dalam bentuk uang (rupiah). Sebagai contoh terhadap sebuah properti (misalnya rumah), seseorang mungkin sanggup melepaskan danmenawarkan 2 buah mobil toyota kijangnya untuk mendapatkan rumah tersebut, tetapi di lain pihak ada seseorang lagi yang bersedia menawarkan 3 buah mobil toyota kijang. Demikian pula dengan pendidikan, terdapat sejumlah orang yang mengeluarkan uangnya untuk mendapat pendidikan di bidang tertentu, misalnya kedokteran atau hubungan internasional. Jadi dapat pula dinyatakan bahwa nilai adalah kekuatan/daya tukar sesuatu barang terhadap barang lain. Inilah yangkemudian dikenal dengan nilai tukar. Tetapi oleh karena kita sekarang menggunakan uang sebagai alat tukar, maka nilai biasanya akan diwujudkan dalam satuan mata uang. Dalam konteks pendidikan, nilai tukar terletak dalam kekuatan atau daya tawar/tukar dengan hal lain. Sementara itu, pendidikan juga member manfaat kepada masyarakat, baik dalam hal peningkatan pengetahuan, keterampilan, pendapatan, dan taraf hidup. Dalam hal yang lebih jauh, pendidikan mempunyai manfaat untuk mobilitas sosial, pertumbuhan ekonomi makro, alat untuk menyejahterakan masyarakat, dan menjadikan sebuah negara menjadi negara maju dan berperadaban. Dengan demikian, pendidikan memiliki nilai guna (manfaat). Inilah yang kemudian dikenal sebagai nilai manfaat (guna) pendidikan.
3. Pendidikan sebagai Barang Konsumtif atau Produktif lainnya
Pendidikan dapat diposisikan sebagai produk atau hasil berupa barang (sekalipun lebih banyak berupa barang asbtrak dan jasa). Jika asumsi ini diterima, maka pendidikan sebagai produk atau “barang” dapat dikategorikan pada beberapa bentuk, yakni sebagai a) barang konsumtif, b) barang produktif c)sumber investasi, dan d) sebagai barang konsumsi dan investasi secara komplementer. Dalam realitasnya, bentuk-bentuk pendidikan sebagai produk ini seringkali sumir, saling berjalin-kelindan, dan overlapping.

C. Peran dan Strategi Pembiayaan Pendidikan
Biaya pendidikan merupakan bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa terdapat sejumlah faktor lain yang  turut berperan dalam menentukan kualitas pendidikan.
1. Peran biaya dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai human investment
Dalam ukuran alam tradisional, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempu menjamin kesintasan survival) atau kelangsungan hidup manusia menghadapi alam yang mengandung bahaya bagi kehidupan Manusia. Ketika kehidupan Manusia belum dicampuri peran uang, pendidikan tidak dipengaruhi Uang, maka aspek humanistic menjadi sangat kental. Itu terjadi ketika kehidupan manusia terutama bersifat fisik atau jasmaniah. Anak diajar dan diberi tauladan ibu dan bapak  bagaimana memelihara tubuh atau jasmaninya agar menjadi manusia yang kuat dan mempunyai daya hidup (fit) untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi keluarga maupun dirinya. Anak diberi petunjuk dan tauladan bagaimana berlakuuntuk membantu memperoleh makan bagi keluarga, seperti berburu hewan, menangkap ikan dan mengumpulkan bahan makanan dari hutan dan ladang. Pendidikan waktu itu terutama bersifat pemberian petunjuk dan tauladan.
2. Strategi Pembiayaan Pendidikan agar dapat berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan 
Agar pembiayaan dapat berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, maka perencanaan pembiayaan harus menempuh strategi yang tepat. Adapun strategi alternative yang dapat digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan agar berdampak pada peningkatan mutu pendidikan adalah sebagai berikut: 
a) Skala prioritas. Pembiayaan pendidikan harus memperhitungkan skala prioritas, yakni mendahulukan sektor-sektor yang berkaitan pada peningkatan kualitas sumber daya, terutama pada peningkatan etos belajar dan etos kerja.
b) Renumerasi. Sistem penghargaan dan penggajian yang dilakukan dalam dunia pendidikan selama ini bersifat fix-income (tetap) berdasarkan golongan, lama bekerja, dan aspek formal lainnya. Sistem dan model penghargaan dan penggajian seperti itu tidak diukur berdasarkan etos kerjadan produktifitas, oleh karena itu system dan model ini tidak mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, penerapan sistem renumerasi yang baik dan benar dapat meningkatkan etos kerja dan produktifitas kerja pendidik dan tenaga tenaga kependidikan lainnya. Dengan demikian, maka penerapan renumerasi dapat berdampak langsung pada peningkatan mutu pendidikan.
c) Penerapan standar mutu pembiayaan pendidikan. Penerapan standar mutu pendidikan melalui
Total Quality Management (TQM), termasuk standar mutu pembiayaan, diasumsikan dapat memperbaiki sistem pengelolaan dandistribusi pembiayaan. Secara akumulatif, bersama penerapan jaminan mutudari komponen-komponen pendidikan lainnya, jaminan mutu pembiayaan dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan.
d) Subsisi dan pembiayaan pendidikan yang berkeadilan. Masa kini, pembiayaan pendidikan dasar dan menengah pertama (dikdasmen) diIndonesia ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat tidak menanggung pembiayaan formal pendidikan (atau dikenal dengan sekolah “gratis”). Halini karena subsidi terhadap dikdasmen pertama cukup besar. Sedangkan untuk pendidikan menengah atas dan PT hanya sedikit. Pembiayaan sepertiini nampaknya seperti “adil”, padahal belum adil, karena setiap keluarga mendapatkan pembebasan SPP, termasuk keluarga “berpenghasilan tinggi”. Kelas inilah yang hari ini menikmati pembebasan SPP, karena mereka mampu masuk sekolah negeri dengan berbagai faktor. Sedangkan keluarga miskin dan menengah banyak masuk di sekolah swasta dan dibebani membayar biaya pendidikan. Selebihnya, terdapat keluarga miskin yang memang bukan hanya tidak mampu membayar SPP tetapi juga tidak mampu membeli alat sekolah dan ongkos perjalanan. Oleh karena itu, subsidi pemerintah harus memperhitungkat tingkat kebutuhan individuseperti di atas. Mungkin saja, ke depan, siswa dari keluarga kaya harus ikut menanggung biaya keluarga miskin; siswa dari keluarga menengah hanya mendapat pembebasan SPP; sedangkan siswa dari keluarga miskin harus mendapat full subsidi (SPP,  alat sekolah,  dan ongkos).
e) Peningkatan peran masyarakat dan swasta dalam pendidikan, termasuk dalam pengawasan pembiayaan pendidikan. Semakin bagus kualitas pengawasan bersama, termasuk dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan, maka tingkat akuntabilitas publik akan semakin besar. Hal ini diasumsikan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
D. Pendekatan Perencanaan Pendidikan di Indonesia
1.Pendekatan-Pendekatan dalam Perencanaan Pendidikan di Indonesia
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002). Faktor lain dari lemahnya sumber daya manusia adalah kurang tepatnya perencanaan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam perjalanan sejarah politik pendidikan, perencanaan pendidikan di Indonesia memang tidaklah menggunakan salah satu pendekatan saja, tetapi menerapkan beberapa pendekatan, kadang-kadang ketiga-tiganya secara bersama-sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, a) perencanaan pendidikan tidak diharuskan supaya terikat kepada salah satu pendekatan, akan tetapi semua pendekatan yang ada dapatdigunakan menjadi pedoman dalam menjabarkan tujuan nasional pendidikan, dan b) setiap tingkat dan jenis pendidikan memerlukan pendekatan yang berbeda. Hanyasaja, hal ini mempersyaratkan adanya pemahaman komprehensif terhadap ruanglingkup dan keterbatasan-keterbatasan setiap perencanaan pendidikan yang ada agar dapat diadaptasi, dimodifikasi, dan diterapkan secara tepat guna, efektif, dan efisiendi Indonesia. 
Secara teoritis, setidaknya, perencaaan pendidikan memiliki beberapa pendekatan, yakni social demand approach (pendekatan kebutuhan sosial), man power approach (pendekatan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja), cost benefit approach (pendekatan manfaat biaya), dan comprehenshive approach (pendekatan komprehensif). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan social demand approach dan man power approach merupakan pendekatan utama yang pernah dan sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada bagian tulisan selanjutnya. Namun sebelum menjelaskan implementasi dari kedua pendekatan dimaksud, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari pendekatan- pendekatan dalam perencanaan pendidikan tersebut.
Pertama, Pendekatan Kebutuhan Sosial. Pendekatan ini menitikberatkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang. Pendektan ini lebih menekankan pada pemerataan kesempaan atau kuantitatif dibandingkan dengan aspek kualitatif. Menurut A.W. Guruge, perencanaan pendidikan dengan pendekatan kebutuhan sosial ini adalah “ The traditional approachto educational development by providing institution and facilities to meet pressuresof admission and make allovance, for the free exercise of students and parents preferences. 
Kedua, Pendekatan Kebutuhan Ketanakerjaan. Pendekatan ini lebihmenekankan pada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang dicapai bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga dapat memperbaiki tingkat taraf kehidupannya. Pendekatan ini bertujuan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja (man power atau person power), sehingga diharapkan dapat memberikan keyakinan penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja. 
Ketiga, pendekatan Efisiensi Biaya (cost benefits approach). Pendekatan ini bersifat ekonomi, karena memiliki pandangan bahwa pendidikan memerlukan investasi yang besar dan karena itu keuntungan dari investasi tersebut harus dapat diperhitungkan bilamana pendidikan itu memang mempunyai nilai ekonomi. Pendekatan ini merupakan penentuan besarnya investasi dalam dunia pendidikan sesuai dengan hasil, keuntungan, atau efektivitas yang akan diperoleh. Pendekatan ini mempunyai implikasi sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi menempati urutan prioritas penting, karena pendekatan untung rugi mempunyai keterkaitan dengan pendekatan ketenagaan.
2.Pendekatan Komperehensif sebagai alternatif dalam Perencanaan Pendidikan
Sebagaimana disebutkan bahwa pendekatan Komprehensif merupakan pendekatan yang cukup ideal diterapkan di Indonesia, karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki untuk menentukan perencanaannya, tanpa mengabaikan perubahan pada aspek politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional, dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif. Penerapan perencanaan pendidikan komprehensif ini dapat dimaknai sebagai investasi di bidang pendidikan yang telah secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung perencanaan pendidikan yang komprehensif, pembiayaan memadai, dan faktor lainnya, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Agar pendekatan komprehensif dalam perencanaan pendidikan ini dapat berjalan, maka ia harus mengikuti prinsip-prinsip umum, yakni:
1) Politically defendable, yakni memiliki dukungan politis dari semua kalangan, terutama para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan. Dalam hal ini, dukungan politis yang kondusif dari legislatif dan eksekutif menjadi prasyarat bagi implementasi pendekatan ini
2) Socially and culturally acceptable, yakni dapat diterima dan sesuai dengan sosial-budaya masyarakat Indonesia.
3) Technically workable, yakni secara tekhnis pendekatan ini dapat dijalankan secara efisien dan efektif.
4) Administrativelly, managerially, organizationally practicable, yakni praktis secara administratif, manajemen, dan organisasi
5) Economically feasible, yakni secara ekonomis dapat diprediksi atau diukur 
6) Financially feasible, yakni secara financial dapat diprediksi dan diukur, dan
7) Legally permissible, yakni legal secara hukum.